By
Mujiburrahman Al-Markazy
Mujiburrahman Al-Markazy
Setiap
manusia memiliki kesibukan yang seabrek setiap hari. Mulai dari bangun tidur
sampai akan tidur lagi. Waktu yang diberikan oleh Allah seakan tidak mencukupi
untuk memenuhi sekian banyak jadwal kesibukan. Sehingga, ada yang
berandai-andai untuk memiliki 36 jam dalam sehari semalam. Harapan itu hanya
disebabkan oleh pola hidup yang serba instan dan pengharapan duniawi yang
begitu tinggi, sehingga melupakan sisi-sisi kemanusiaan sejati, yakni sisi
sosial dan spiritual.
Begitu
banyak jadwal, begitu banyak angan-angan yang hendak dicapai, sehingga
melahirkan tekanan hidup disebabkan oleh pola hidup yang tidak tertata lagi.
Sisi kemanusian yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Dampak dari sekian
banyak tekanan dalam kehidupan, sampai seseorang itu lupa untuk apa dia
bekerja. Seakan hanya untuk memenuhi keinginan bos atau memenuhi keinginan
klien. Tendensi ambisius yang begitu menggelora akan melahirkan pribadi
kamuflase. Pribadi yang menampilkan kebaikan, jika ia mendapatkan kebaikan feed
back. Kebaikan yang hanya diukur secara materi, bukan secara moriil apalagi
spirituil.
Hati
diliputi dengan tingginya angan-angan. Posisi, capaian prestasi, tendensi ingin
memiliki barang mewah dan gaya hidup serba wah, telah mewarnai pola hidup.
Bahkan untuk sekedar memberikan senyuman kepada tetangga, anak-anak, istri,
apalagi teman sebangku pada kereta atau pesawat telah terlupa. Hidup dipenuhi
dengan hitungan matematika materi, “kalau saya senyum kepada dia, saya dapat
apa?
Bukan
hanya itu, apabila disaksikan orang lain berbuat kebaikan kepada orang lain. Ia
akan bergumam, “Alah, paling juga ada maunya.” Kehidupan kita telah terkikis
dengan pola hidup robotik yang entah dari mana awalnya, mengalir begitu saja
merasuk kedalam pola kehidupan ketimuran kita. Kehidupan yang mendorong orang
untuk berbuat lebih demi target materi yang disodorkan. Bahkan sekedar untuk
tersenyum dan berdamai dengan diri sendiri dan menularkan kebaikan ilahiyah
kepada orang disekeliling kita telah kosong dan hampa. Hidup kosong melompong
dari sisi humanisme keagamaan.
Berikut
ini penulis mencoba untuk menjabarkan beberapa cara dan tips agar setidaknya
membuat hidup kita lebih tentram dan nyaman dalam menjalani aktifitas kehidupan
kita. Agar nilai-nilai kemanuisaan kita tidak pudar dan menjadi pribadi yang
bermartabat tanpa kehilangan jati diri sebagai hamba ilahi, makhluk sosial dan
makhluk yang memiliki kesenangan dan cita-cita.
1.
Senangkan
Allah
Pagi
hari kita terbangun dalam keadaan yang sehat, udara begitu fresh, segar alami. Untuk stok makanan hari itu masih mencukupi.
Harusnya itu adalah hari yang membahagiakan kita, tidak perlu bandingkan
kehidupan kita dengan preside, umpamanya, atau pengusaha yang punya miliaran.
Kitapun bisa menikamati kehidupan kita untuk hari itu. Sangat naif sekali jika
hidup kita hanya terbayang-bayangi dengan kelamnya masa lalu dan terobsesi
dengan kehidupan masa yang akan datang. Tanpa bisa menikmati waktu dan
kehidupan detik ini, menit ini dan hari ini. Nabi Muhammad saw, mengajarkan
kita bagaimana menyikapi hidup dan berbahagialah untuk hari ini. Berbahagialah
sekaranag.
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ
آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا
حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa
di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan
masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari
itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah menjadi
miliknya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa
mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib).
Jika kita melihat keadaan manusia pada umumnya,
kebanyakan bangun di pagi hari, masih memiliki ketiga potensi itu. Pertama,
bangun pagi dalam keadaan aman baik diri, keluarga dan masyarakata. Bukan hidup
pada zaman perang atau kerusuhan, atau sedang dirundung gempa bumi, pokoknya hari
itu aman. Potensi kedua adalah bangun pagi dalam keadaan bugar dan sehat.
Potensi yang ketiga adalah memiliki rezeki yang cukup untuk hari itu. Nabi saw,
mengkongkritkan dengan kata, tersedianya makanan pokok untuk hari itu. Coba
lihat, Nabi menekankan untuk hari itu saja, bukan untuk sepuluh tahun lagi.
Cukup persedian bahan makanan untuk hari itu. Maka, beliau saw, menyampaikan
seakan-akan telah berkumpul seluruh kebaikan dunia pada dirinya.
Cuman, kebanyakan manusia hanya mengejar dan mencari
sesuatu diluar dirinya. Padahal hari itu harusnya dia enjoy dalam menjalani kehidupan. Ia laksana seorang raja yang telah
memiliki seluruh isi dunia. sayangnya ia tidak memaksimalkan potensi ketiga
untuk beribadah dan mengabdi kepada sesama. Itulah cara terbaik menyenangkan
Allah.
Bagaimana
seseorang itu bisa hidup tenang, makan dari hasil bumi Allah, tinggal di atas
bumi Allah, bernafas menggunakan udara ciptaan Allah, dirinya sendiri yang adakan
adalah Allah, keluarganya, anak keturunannya, kerabatnya, negaranya, everything, semua milik Allah. Bagaimana
ia bisa hidup tenang tapi tinggal numpang dirumah orang tapi bermasalah dengan
pemiliknya. Kita tidak sadar dengan tidak mentaati Allah atau melanggar
perintahnya itu sama saja kita mencari gara-gara dengan Allah. Kita seakan mau
bertingkah dan menentang Allah. Inilah penyebab mengapa hidup selalu rumit
padahal secara materi seluruhnya telah dimiliki.
Sekedar
ilustrasi singkat. Ada orang yang kredit mobil atau motor, katanlah seperti
itu. Ketika jatuh tempo, ia ditelpon dan ditagih oleh debt collector, sang penagih hutang. Bagaimana perasaannya. Gelisah
akan hadir. Makan, mikirin hutang, tidur mikirin hutang, ke kantor mikirin
hutang, apalagi ditelpon oleh nomor yang tidak dikenal, mau angkat saja, ragu.
Jangan-jangan si penagih itu.
Walaupun,
kita bisa memberikan alasan dan penundaan, tetap saja, kita akan ‘sedikit’
merasa gelisah. Ini baru bermasalah dengan yang punya pembiyaan motor atau
mobil. Bagaimana kalau diri kita bermasalah dengan orang yang menguasai seluruh
seluk beluk kita? Pantaas saja hidup terasa hampa, saat kita jauh dari-Nya.
Ketika kita mendekat
kepada Allah swt, maka Allah akan ‘mendekap’ kita. Allah akan senang kepada
kita. Dalam hadits qudsi Allah swt, berfirman.
أَنَا
عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى
فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى
مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ
ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ،
وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Aku sesuai
persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia
mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia
mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih
baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku
sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta,
Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan
(biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR.
Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).
Bahkan tidak hanya itu, Allah begitu rapat dan akrabnya kepada orang yang pe de ka te dengan Dia. Hem, beruntungnya orang itu. “Tidak henti-hentinya hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan amalan-amalan sunnah. Sehingga aku menajdi tangannya yang dengannya dia gunakan untuk memegang. Aku menjadi kakinya yang dengannya dia gunakan untuk melangkah. Aku menjadi matanya yang dengannya dia gunakan untuk melihat. Aku menjadi telinganya yang dengannya ia gunakan untuk mendengar.” (HR.Bukhari-Muslim).
Alangkah
bahagianya hidup jika ‘yang punya dunia’, senantiasa bersama kita setiap saat. Menjadi
orang yang Allah cintai dan ridhoi adalah suatau anugerah terbesar dalam
hidup.dapat cinta dari manusia saja, bagitu indahnya. Apalagi dicintai dan
diridhoi oleh Allah. Siapa sih, yang tidak mau? Hidup akan begitu nyaman jika
diridhoi oleh pemilik dunia ini.
2.
Tahajud
Hidup
di dunia ini adalah hidup dalam gelombang yang tidak pasti. Apa yang ada di
depan kita hanyalah berupa prediksi. Bahkan, apa yang ada dalam genggaman kita
belum pasti milik kita.
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Kepunyaan Allahlah, seluruh isi
langit dan Bumi.” (QS. Al-Baqarah: 284)
Ketika
Rasulullah saw, akan melakukan dakwah. Ia telah lama bertafakur dan
berkontemplasi tentang makna kehidupan di Gua Hira. Begitu intimnya beliau saw,
dengan Allah. Senantiasa memohon petunjuk kepada Tuhan Pemilik Langit dan Bumi
untuk memberikan petunjuk, tentang hiruk-pikuk, masyarakat lokal, tanah Hijaz
dan global, seluruh dunia. Kerusakan diseluruh dunia pada saat itu telah
merata, miras, judi, zina, yang kuat menindasa yang lemah. Kezaliman demi
kezaliman terjadi. Beliau yang begitu lembut hatinya ingin merobah keadaan yang
tidak elok itu. Untuk memulai misi merubah dunia yang begitu luas dan kompleksitas
permasalah setiap daerah yang begitu mewabah. Beliau ‘galau’, risau, memikirkan keadaan umat. Ini suatu
permasalahan besar.
Nabi
saw, telah menjadi pedagang kaya raya sebelumnya. Seluruh hiruk-pikuk dan
hedonisme masyarakat global telah ia saw, saksikan. Berdagang sampai Persia dan
Rumawi kala itu. Beliau saw, telah menyaksikan pemandangan yang tidak
seharusnya. Yang kuat menzalimi yang lemah, perang antar suku yang tidak
berkesudahan, penyembahan kepada sesuatu yang diciptakan sendiri. Suatu pemandangan
yang ironi, jika dipandang dengan hati yang jernih tanpa tercampur virus-virus
kerusakan. Ia bertafakur di dalam gua Hira, lima tahun lamanya, sejak usia 35
sampai 40 tahun.
Tidak
sampai di situ, setelah mendapatkan wahyu tentang Iqra, belum lagi ada perintah langsung untuk berdiri tegak, lantang
dihadapan manusia untuk dakwah. Belum ada intruksi tegas untuk dakwah. Beliau
baru sekedar konsultasi kepada orang-orang ahli dan orang dekatnya.
Diberitahulah Istrinya, kemudian dibawalah beliau ke Waraqah bin Naufal untk
konsultasi. Waraqah adalah seorang pendeta dan ahli seluruh kitab-kitab samawi.
Waraqah, memperteguh keyakinannya, bahwa dialah saw, yang akan menjadi Nabi
akhir zaman. Yang beliau dapat di gua hira adalah namuz, seperti para nabi yang lain dapatkan sebelum melakukan tugas
suci.
Selepas
itu, belum lagi selesai. Perintah berikutnya sebelum dakwah secara terbuka
adalah tahajud. “Yaa ayyuhal muzammil.
Qumil laili illa qaliilaa. Nisfahu awingkush minhu qoliila. Awzid ‘alaihi
warattilil qur’aana tartiila. Inna tsanulqi ‘alaika qoulan tsaqiila. ”
“Wahai orang-orang yang berselimut.
Bangun dan dirikanlah shalat walaupun sedikit (dua rakaat), atau kamu
dirikanlah sholat sejak tengah malam, atau kamu tambah lagi seluruh malam dan
bacalah Al-qur’an dengan tartil. (Karena) Kami akan karuniakan kepada kamu
qaulan tsaqila, perkataan-perkataan yang berbobot.”(QS.
Al-Muazammil: 1-4)
Setelah
Nabi shallallahu Alaihi Wasallam, dikaruniai qaulan tsaqilah untuk dakwah, face
to face, sosialisasi orang ke orang, bergerilya secara sembunyi-sembunyi
barulah Nabi saw, dirusuh dakwah secara terang-terangan dengan diturunkan Surat
Al-Mudatsir.
Intinya
bahwa, dengan tahajud beban paling berat dalam hidup pun akan dimudahkan oleh
Allah swt. Tahajud membuka kelapangan hati. Ketika orang sudah drop dalam
menghadapi masalah , tapi bagi ahli tahajud, ia masih bisa menanggapi dengan
berbagai macam jalan keluar. Kenapa demikian, karena dihatinya ada sejumlah
ketakwaan yang tidak dimiliki oleh orang yang tidak bertahajud. Janji Allah
kepada orang yang takwa di awal surat At-Tholaq ayat 2. Tentang sebuah garansi,
diberikan jalan keluar bukan satu, tapi sangat banyak.
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ
يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, akan
diberikan jalan keluar dari setiap masalahnya.” (QS. Ath Thalaq: 2)
Ulama
tafsirkan makna “Makhraja” adalah berbagai macam jalan keluar. Bukan satu, tapi
banyak. Ketakwaan yang sempurna bisa didapatkan dengan banyak menjaga qiyamul lail, tahajud. Orang yang
menjaga tahajud akan diberikan maqomam
mahmuda, satu derajat takwa yang terpuji lagi tinggi.
Bayangkan
masalah yang begitu pelik dihadapi oleh Nabi saw, dengan tabah dan bisa
berhasil sukses dengan gemilang membawa umat manusia dan menghapuskan perbudakan
dengan sistem denda apabila melakukan pelanggaran dalam menunaikan amalan.
Beliau sukses besar, the greatest
successes. Kalau kita bandingkan dengan problematika kehidupan kita yang
hanya seputar memperbaiki keluarga, organisasi, diri sendiri dan sebagian
tatanan masyarakat, belum apa-apa dengan permasalahan pada awal perjuangan
Islam. Begitu sulit dan sangat susah. Beliau bisa sukses dengan bermodalkan
tahajud, mengapa kita tidak bisa meniru jalan tersebut. Mulailah dari sekarang
dengan merutinkan bangun malam, tahajud, untuk mengkonsultasikan permasalah
kita langsung kepada Dia yang memiliki seluruh isi dunia. Hanya dari Dialah
masalah dunia dan akhirat kita bisa selesai.
3. Membaca Al-Qur’an
Ketika
pikiran sedang kalut, cobalah, berwudhu, menggenggam Al-qur’an menghadaplah ke
kiblat. Bacalah Al-qur’an helai demi helai. Biarkan suasana hati terbawa dengan
lantunan ayat suci Al-Qur’an. Seiring dengan itu, hati akan terbawa kepada satu
titik alfa, titik ketenangan. Perlahan
suasan hati semakin teduh titik teta, sangat
tenang. Jika terus dihayati dan dilantunkan kalam suci itu dengan suara merdu,
suasana hati atau otak akan sampai ke puncak ketenangan yakni titik delta, pada titik ini tubuh akan
memperbaiki jaringannya sampai ke tingkat sel secara perlahan. Level ketenangan
otak dan hati ini pernah dikemukakan oleh beberapa ahli ternama. Salah satunya
oleh David Cohen, seorang fisikawan asal Kanada yang mendalami biomagnetik.
Apabila
hati masih belum sampai pada level ini bacalah terus, biarkan hati ‘curhat’
mengalir menuju Allah. Biarkan lisan terus melantunkan kalam suci-Nya. Ketika
hati mulai pasrah dan berserah hanya kepada keinginan Ilahi. Saat itulah hati
akan hinggap pada ‘dahan’ yang sejuk dan nyaman. Sesaat dirasakan kesejukan dan
ketenangan batiniah. Ketika telah sampai pada level ini, maka permasalahan
dunia akan sirna dan terbuka jalan untuk menemukan solusi terbaik dari
permasalah yang dihadapi.
4. Senangkan Orang lain
Ada
sifat segelintir orang yang suka mencari kesenangan, dengan membuat orang lain menjadi
susah. Bersaing dalam bisnis atau memperebutkan posisi kepemimpinan dalam
sebuah organisasi, perusahan, atau dalam kehidupan bermasyarakat. Demi
memperoleh posisi itu. Menjatuhkan saingan politik bukan lagi soal, semua
ditempuh. Kesenangan seperti hanyalah sebuah ilusi dan tipuan nafsu belaka. Kelihatan
seolah dinikmati, padahal tersimpan kegelisahan yang dalam. Takut kalau ada
lagi saingan lain yang bisa menggoyahkan tampuk kepemimpinan.
Sedangkan
ada satu jenis kesenangan yang bila dimiliki. Maka, kesenangan itu akan abadi
dan orang pun tidak ingin ‘merampas’ kesenangan yang dimiliki itu. Yaitu,
kesenangan yang diperoleh dengan membuat orang lain menjadi senang.
Cara
membuat orang lain senanang bisa dengan berupa memberikan sesuatu yang disukai
atau menjauhkan dari perkara yang dibenci. Bahkan, bisa saja hanya berupa doa
yang dipanjatkan untuk kebaikan orang lain.
“Wahai
saudaraku, semoga dihari yang indah ini, kamu dikaruniai rezeki yang berlimpah,
istri dan keluarga kamu sehat wal afiat dan dijauhi mara bahaya.” Ini perkataan
yang tidak memburuhkan banyak tenaga apalagi biaya. Modal yang sedikit, sesuai
prinsip ekonomi, modal kecil untung gede.
Tahukah, sejauh apa efeknya? Orang yang didoakan akan tersenyum. Dia akan
senang dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Pada saat detik yang sama
kita akan merasakan minimalnya merasakan seperti apa yang ia rasakan, bahkan
bisa lebih lagi kebahagiaan itu mengalir di dalam hati kita. Minimalnya, ia
akan mendoakan balik kepada kita.
Pantaslah,
Nabi saw, menyampaikan, orang yang lebih dahulu dalam memberikan salam adalah
lebih mulia daripada yang diberi salam. Seperti mahfum hadits yang lain,
“Tangan di atas lebih baik dari tangan yang dibawah.” Maknanya, yang memberi
lebih utama atau lebih mulia daripada yang diberi atau yang menerima. Yup,
senangkan orang lain maka Allah akan senangkan kamu.
وَ
اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Allah
senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. [HR Muslim: 2699, at-Turmudziy: 1930)
5. Tidak Berhutang
Siapa
yang tidak memiliki hutang? Mungkin sangat kecil atau sanagat sedikit. Yang
kami maksud disini adalah, utang yang melebihi kapasitas dalam membayar. Tanpa
disadari, jiwa konsumtif dan ingin bersaing dalam life style tanpa melihat daya dan kemampuan untuk menutupi hutang,
telah menjangkit pada sebagian besar masyarakat modern kita.
Ada
efek negatif lainnaya selain efek positif untuk memacu orang tersebut dalam
berupaya lebih maksimal. Tapi tanpa disadari, ia telah terjatuh kepada usaha
yang berlebihan, bahkan, tidak jarang, karena begitu banyak tuntutan hidup. Ia
rela untuk korupsi, alias menggelapkan dana proyek. Dana proyek di kantor yang
seharusnya cukup, ia ‘cukup-cukupkan’. Maksudnya ia press dananya, kemudian
minta nota kosong dari tempat perbelanjaan dengan plus stempel. Ia membuat mark
up dana bahan proyek tersebut. Kalau pihak toko tidak jeli, pihak toko bisa
saja dianggap ikut terlibat dalam berkolaborasi mark up tersebut. Ini satu
sisi.
Pada
sisi yang lain, membuat hutang dengan gaya hidup serba jatuh tempo. Membuat
orang lain menjadi tidak nyaman dalam menikmati hidup. Katakanlah, jatuh tempo
pada akhir bulan. Begitu uang yang dia miliki pada awal bulan sudah terpakai
pada keperluan mendesak lainnya. Maka, ketika jatuh tempo pada akhir bulan ia
akan ‘ngumpet’ alias lari dari kenyataan.
Pasti
orang yang hidup dengan pola dan gaya tuntutan jatuh tempo seperti ini, akan
gelisah permanen pada waktunya. Penyebab utamanya adalah mengikuti gaya hidup
yang tidak proporsional dengan kemampuan isi dompet. Sehingga, ada yang
mengambil pelajaran dari rumus fisika, pada Hukum Pascal. “Tekanan didapat dari
banyaknya gaya yang diberlakukan terhadap luas permukaan.” Artinya apa, jika
semakain banyak gaya dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan kapasitas ‘diri’
dalam menampung efek dari gaya tersebut, maka ‘nilai’ tekanan hidup akan
semakin meningkat. Dengan kata lain, semakin besar tekanan hidup adalah hasil
bergaya yang melebihi kemampuan individu. Hindari banyak gaya, jika kapasitas
hidup biasa saja. Hutang akan berbanding lurus dengan gaya hidup meningkat dan
kemampuan atau kapasitas yang tidak meningkat alias sudah dipaksakan. Itu.
6. Yakin Kepada Qadha dan Qadar
Dalam
hidup dan kehidupan, ada banyak perkara yang telah kita usahakan untuk
meminimalisir permasalahan yang terjadi atau yang akan terjadi. Kita telah
berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisisr permasalah yang mungkin akan
terjadi. Segala daya dan upaya telah dilakoni. Toh, pada saat dan posisi
tertentu, yang dikahwatirkan itu malah terjadi, itu adalah takdir.
Dalam
memahami hal ini, tidak bisa serta merta. Terkadang bagi sebagian orang ketika
ditimpa keburukan, ia katakan ini takdir, tapi ketika ia ditimpa kebaiakan,
atau kebaikan yang ia cita-citakan terwujud ia katakan, “Ini adalah hasil dari
jerih payah saya.” Padahal ia pun harus mengatakan, “Memang saya sudah berusaha
maksimal, tapi semua ini terjadi berkat pertolongan Allah semata.” Kenapa demikian,
karena apa saja kebaikan yang kita usahakan adalah dari Allah swt. Allah taala
ingatkan,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا
أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Tidaklah kamu berkehendak, kecuali ‘rencanamu itu’ telah
dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir:
29)
Ketika
seseorang lupa dengan posisinya. Maka ia akan kehilangan banyak hal. Ketika ia
tidak berusaha, kemudian ada keburukan yang menimpanya, maka ia ‘mengkambing
hitamkan’ takdir. Sungguh iatelah keliru dalam hal ini. Kebaikan yang harusnya
bisa ia peroleh dengan berikhtiar ia tinggalkan karena tertipu dengan rasa
malas dan keyakinan yangkeliru. Allah ingatkan, “Maa ashoba min hasanatin faminallah. Maa ashoba min sayyi’atin famin nafsik.”
“Apa saja kebaikan yang menimpa kamu, itu adalah pertolongan dari Allah, tapi
apa saja keburukan yang menimpa kamu, jangan kamu salahkan orang lain kecualai
diri kamu sendiri.” (QS. An Nisa: 79)
Dengan
memaksimalkan usaha, dan tetap memohon pertolongan Allah swt. Akan menghasilkan
pribadi yang tidak lupa diri ketika sukses dan tidk berpustus asa ketika
‘gagal’. Ia akan menjadi pribadi yang visioner dan apa adanya ketika berhasil
dan ‘gagal’. Karena dalam keyakinannya dibalik usaha maksimal dari seseorang
telah ‘terhidang’ takdir ilahi yang pasti akan lebih baik dari yang ia kirakan
sebelumnya.
Penutup
Sebelum
kita akhiri diskusi ini. Penulis ingin menyampaikan sedikit rangkuman
tentantang pembahasan kita kali ini, agar wajah kita senantiasa cerah, berwibawa,
tidak galau dalam menyikapi kehidupan yang serba bersaing. Ada beberapa langkah yang perlu
kita lakoni.
Pertama,
jaga dan taati setiap rambu-rambu kehidupan yang ditetapkan Allah dalam
kitabullah dan sabda nabi-Nya. Kedua, buatlahah jalinan pendekatan khusus
kepada Allah dengan tahajud, agar keakraban kepada Allah terbangun intim.
Ketiga,
senantiasa warnai hidup kita dengan lantunan suci Al-Qur’an agar hidup kita
tidak kosong dan hampa. Usahakan Al-Qur’an dibaca disela aktifitas kita atau
diawal hari. Keempat, jadilah kita menjadi penolong sesama, karena Allah telah
menjamin pertolongan kepada siapa yang suka menolong sesama.
Kelima,
berhutanglah yang sewajarnya, kalau terpaksa berhutang. Sebisa mungkin hindari
berhutang yang sifatnya konasumtif. Hutang yang sifatnya produktif juga jangan
sampai melebihi kapasitas kita dalam membayar cicilan hutang. Sebisa mungkin
cicilan dibawah atau maksimal 50 % dari income pendapatan kita. Yang terakhir
atau keenam, terimalah takdir yang Allah swt, tetapkan, bisa jadi takdir itu
yang membuat diri kita lebih belajar dan mawas diri untuk bisa bangkit dari
keterpusurukan dan bisa mengatasi konflik yang lebih besar dikemudian hari,
karena kita telah terlatih dalam menghadapi saat terburuk. Berprasangka baiklah
kepada Allah, maka Allah akan menutupi kekurangan dan kesalahan kita. Aammiin.
Selesai diedit di
Asera-Sulawesi
Tenggara, 4 Oktober 2018