Follower

Wednesday, August 22, 2018

KEMERDEKAAN DI DUA HARI RAYA




By
Mujiburrahman Al-Markazy

Hari ini adalah hari Jum’at. Bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 2018. Yah, sudah 73 tahun yang lalu bangsa ini merdeka. Ku tengok jam dinding. Menunjukan pukul 7 pagi, padahal undangan yang harus aku hadiri pada pukul 09.30 wita. Disitu tertera catatan, “Undangan hadir sebelum 30 menit sebelum upacara di mulai. Tertulis dengan stempel biru muda, “Vip B”. Undangan ini telah diberikan dua malam sebelumnya. Tepatnya malam rabu, lepas sholat isya oleh panitia. 

Setelah sholat dhuha, dengan mengenakan batik alakadarnya. Maklum, semenjak tergabung dalam pergerakan dakwah dan tabligh, keseharian hanya menggunakan gamis dan jubah ala Arab, kata orang sih begitu. ‘kearab-araban’. Padahal sih tidak, hati dan jiwa, nasionalisme sejati. Ah, kalau dipikir pakai jubah, gamis dan sorban adalah pakain nasionalis. Buktinya Imam bonjol pakainnya bergamis dan bersorban, Pangeran Diponegoro, Teku Cik Ditiro, Teuku Umar, Kiyai Hasyim Asy’ari, semoga Allah merahmati dan meridhoi mereka semua.

Sejak lulus SMA 2006 aku sudah tidak pernah menghadiri upacara kenegaraan yang sakral itu. Maklumlah karena sibuk dengan kampus, pesanteran, dunia dakwah dan bisnis. Undangan ini datang karena saya yang bertugas sebagai Imam Masjid Raya Assalam, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. 

Singkat cerita, jemputan telah datang. Dengan roda dua, aku dengan salah satu tokoh masyarakat beranjak ke lapanagan upacara. Terlihat sudah begitu ramai. Ada barisan yang mengenakan putih abu-abu, ada barisan putih-biru, ada barisan loreng dan barisan cokelat. Semua barisan telah berdiri rapi, karena 30 menit lagi, bupati Konawe Utara akan datang dan acara akan segera dimulai.

Upacara berlangsung khidmat. Ketika lagu “Gugur Bunga” untuk mengenang jasa para pahlawan dimulai. Suasana hening dalam keadaan berdiri itu, hatiku terenyuh. Mengenang bagaimana para pejuang terdahulu merebut kemerdekaan. Bayangan saya seolah melihat seorang yang akan menaikan bendera merah putih dengan memanjat, kemudian ditembaki. Para Ibu dan anak-anak yang di bom dan dihambur dengan senjata mesin. Para pejuang yang kelaparan dalam peperangan, malam dan siang hanya menanti kematian, yang ada dalam benak, ‘Merdeka atau mati’.

Sekilas ingatanku kepada kondisi masyarakat Indonesia. Jalan antara Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Utara sekitar 120 km yang sebagiannya masih rusak parah. Hatiku memberontak. “Kasihan bangsaku, sudah 73 tahun, penderitaannya belum juga terobati.” Masyarakat di pedalaman Kabupaten Kolaka Timur belum juga tersentuh listrik. Musibah gempa bumi di Lombok, NTB belum juga tertangani. “Ksihan bangsaku.” Tanpa terasa air kesedihanku menetes. Seolah kita tidak mampu menjalankan amanah dari para pendahulu kita. Saya seolah memaki diriku sendiri, “Kenapa belum ada yang saya torehkan untuk bangsaku tercinta. Semoga kecintaan ini bukan hanya ucapan bibir dusta semata”. Dadaku sesak. Tak terasa lagu “Gugur bunga,” telah berakhir dan terdengar panduan dari MC, “Hadirin dimohon duduk kembali.” Secarik tisu ku ambil untuk membersihkan air kesedihanku.

Yah, 73 tahun sudah bangsaku merdeka. Apalagi hari ini bertepatan dengan hari Jum’at. Walaaupun tidak jatuh pada bulan Ramadhan dengan tanggal 9 Ramadhan, mirip seperti kala itu, 17 Agustus pertama. Ketika Bung Karno membacakan proklamasi kemerdekaan kita. Walaupun demikian punya dua sisi kesamaan, tanggal 17 Agustus dan Hari Jumat. Bagi saudara sebangsa yang muslim ini adalah dua hari raya. Hari jum’at adalah iedil fuqara’ wal masaakin, hari Rayanya orang fakir dan miskin. Masih teringat jelas ketika masih menduduki Sekolah Dasar (SD) Ibu suka masak makanan yang spesial ketika memasuki Hari Jum’at. Budaya itu masih diteruskan hingga sekarang. Apalagi memasuki tanggal 17 Agustus, pasti nasi kuning dan ayam lagi. Di Maluku kebanayakan setiap hari masyarakat mengkonsumsi ikan laut segar, jadi jarang mengkonsumsi ayam. Ayam hanya dikonsumsi ketika hari raya Ied dan perayaan tujuh belasan. 

Pada dua hari raya ini, penulis ingin mengajak para pembaca sekalian untuk sedikit merenung dan berfikir sekilas tentang keadaan bangsa kita secara global. Kita bersyukur telah hidup dalam nuansa kemerdekaan yang begitu elok, tapi dilain sisi kita masih banyak aspek yang harus diperjuangkan. Memang sih, hidup adalah perjuangan. Bukan itu yang penulis maksudkan, tapi coba kita evaluasi sejauh mana kesetaraan bangsa kita dengan negeri atau negara-negara yang sudah berada pada taraf berkembang dan maju. Katakanlah negara jiran kita Malaysia dan Singapura. Indonesia baik dari segi perekonomian dan pendidikan maasih dihitung belum semaju mereka. Kekurangan yang kita miliki masih merata di wilayah timur Indonesia. Sangat signfikan perbedaannya jika kita bandingkan dengan masyarakat ibu kota. 

Belum lagi kita saksikan masyarakat kita dalam konstalasi percaturan politik dalam dunia demokrasi yang belum dewasa. Masih kita jumpai ketidak harmonisan yang tercipta akibat perbedaan siapa yang dipilih. Perbedaan siapa jagoan yang diususng dalam pilpres, pilgub dan pilbub kadang telah membuka jurang pemisah yang begitu menganga. Ditambah lagi cost politik yang cukup besar, belum sebanding dengan harga yang dihasilkan dalam membina dan membangun masyarakat. Tidak hanya disitu, degradasi moral bangsa telah merosot seiring dengan berjalannya waktu, tatakrama dan adat-istiadat semakin punah. 

Kita sebagai bangsa, jika diibaratkan luka, telah menjadi borok yang menjalar ke seluruh tubuh. Padahal pihak asing senantiasa berfikir untuk menguasai perekonomian dan tatanan sosial budaya kita. Mungkin, secara zahir kita tidak akan dijajah secara fisik lagi, tapi penjajahan gaya baru, dengan perekonomian masih terasa. Sebagai anak bangsa kalau kita tidak mengambil langkah nyata untuk perbaikan kondisi bangsa kita. Maka tidak mustahil, masa ‘penjajahan’ ini masih akan berlangsung dalam waktu yang lama. Jika sebagai bangsa kita hanya diam dan berpangku tangan apalagi hanya saling menyalahkan, habislah, dan tamatlah riwayat bangsa kita. Kita hanya akan menjadi babu dinegeri sendiri, kemegahan bangsa lain yang selalu kita banggakan. Tatanan moralitas semakin tergerus dan berganti menjadi polah kehidupan hewaniah. 

Untuk menahan agar tidak semakin merosot keadaan kita. Marilah berbenah. Sebagai apapun kita. Sebagai guru, mulailah tanamkan nilai-nilai luhur dan akhlak mulia, bukan hanya sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan namun kering dari nilai, kering dari keteladanan. Berhentilah dari kebiasaan besungut tanpa berbuat yang lebih baik. Sebagai ekonom, mulailah dengan menata sistem ekonomi yang bisa membeck-up pola westernisasi dan kapitalisasi perekonomian bukan hanya sekedar duduk manis dengan analisa tanpa aksi. Sebagai seorang birokrat mulailah mencontohkan pemerintahan yang bersih bukan sekedar untaian kata-kata manis dalamsambutan pidato tapi wujud nyata aksi dalam membenahi kebobrokan yang ada. Kepada para politisi nampakan kesantunan politik agar masyarakat semakin tercerahkan, kemunculan figur itu lebih baik daripada jutaan kalimat puitis namun kering dari aksi nyata. Berbenahlah bangsaku, majulah negeriku.

No comments:

Post a Comment