By
Mujiburrahman Al-Markazy
Pertanyaan seperti ini sudah sering saya dengar dan menjelaskan bagaimana sehingga saya bisa terjemah bahasa Urdu yang notabene adalah bahasa resmi India dan Pakistan. Padahal belajar secara langsung kepada ahli bahasa ini dalam waktu khusus, belum pernah. Yah, otodidak itulah yang saya mau sebut. Belajar secara otodidak dalam kurun waktu 2 minggu.
Kisah belajar otodidak ini bermula ketika liburan kampus 2014 lalu. Walaupun saya 'tinggal' di Pondok "Santer PELMAHA" (Pesantren Alternatif untuk Mahasiswa dan Hafidz) pelajaran bagaimana menerjemah belum juga saya dapatkan. Sampai saya 'tinggalkan' pondokpun pelajaran bagaimana menjadi penerjemah belum ada dan belum juga diadakan hingga sekarang.
Ketika akhir semester 2, tahun itu, saya putuskan untuk mengisi waktu liburan dengan khuruj fi sabilillah 40 hari. Ini adalah masa pembelajaran terbaik. Karena kita memadukan antara teori dan praktek.
Berapa banyak orang kuliah atau mengenyam pendidikan formal lainnya. Ia baru bisa memahami dengan baik apabila telah terjun praktek di lapangan. Hemmmm, sempat dalam benak saya, kurikulum pendidikan Indonesia ini sebaiknya dirubah. Sebelum memulai teori sebaiknya siswa atau mahasiswa diperkenalkan pada output apa yang akan di capai, umpamanya penelitian dan mengabdi kepada masyarakat, belajar praktek dulu, sebelum ia terjun dalam rutinitas belajar teori secara keseluruhan. Sehingga, ia ada gambaran menyeluruh tentang dunia pendidikan.
Khuruj fi Sabilillah adalah kegiatan yang dilakoni untuk membenahi diri dengan iman, ilmu dan amal. Semua personil jamaah berpartisipasi aktif dalam mengisi 3 unsur perbaikan diri tadi.
Perjalananpun saya tempuh dengan menggunakan kapal laut, 3 malam hari 2 hari. Kalau ditambah dengan start awal dari Kendari menuju Bau-bau berarti 3 hari 3 malam tiba di pelabuhan tanjung Priok, Jakarta. Maklum, saya tinggal di daerah kepulauan timur Indonesia, Sulawesi Tenggara. Sebenarnya kalau dengan pesawat terbang paling cuman 3 jam. Hemmmm, saat itu masih aktif kuliah jadi biaya harus irit, yang penting tujuan tercapai, misi dakwahnya lancar. Ketika itu, markaz dakwah kami masih 'satu' di jalan Hayam Wuruk, Kebon Jeruk, Jakarta. Sekedar informasi sekarang ada 2 markaz dakwah Indonesia. Satu ada di Kebon Jeruk dan yang satunya di Bekas Rumah Sakit Paru-paru lama, Sunter Agung, Ancol. Tepatnya di Masjid Al-Muttaqien Ancol.
Ketika bayan, ceramah biasanya di akhir pembicaraan ada tawaran dan ajakan untuk keluar di jalan Allah. Saya langsung mendaftarkan diri untuk dibentuk jamaahnya. Itu adalah markaz dakwah seluruh provinsi. Siapa saja yang datang dari provinsi berbeda, tapi ingin keluar fi sabilillah, walaupun belum terbentuk rombongan dakwahnya bisa langsung daftarkan diri di markaz dakwah Indonesia.
Dalam mendaftar itu, saya bilang saja bisa bahasa Inggris, walaupun kemampuan seadanya. Maksud saya, supaya bisa dipasangkan dengan jamaah foregn kalau dibutuhkan. Memang niat saya untuk mengasah kemampuan berbahasa asing juga. Hemmmm, liburan yang penuh makna, bisa traveling, punya kawan sholeh, relasi dengan orang-orang baik, bermukim di tempat terbaik, dari satu Rumah Allah ke Rumah Allah lainnya. Bisa mengasah kemampuan berbahasa. Hemmmm, sungguh mengasyikan. Disinilah 'pelajaran otodidak' itu bermula.
Rute jamaah saya diputuskan menuju Magelang, Jawa Tengah. Alasan kenapa rute menuju ke sana adalah karena di sana banyak penerjemah Bahasa Urdu. Kebetulan, waktu itu jamaah yang saya temani adalah dari India, Distrik Maharastra. "Pak, ini jamaah ada yang bisa bahasa Inggris kan...?" Tanya saya untuk memastikan sebelum digabungkan. sebab, sekali tatap muka dengan calon jamaah yang akan saya temani itu. Sekalipun belum pernah. Maklum, tempat untuk khidmat, pelayanan Jamaah Luar negeri berada di lantai 3 masjid. Sedangkan saya i'tikaf di lantai 2, itupun sudah sangat padat berdesakan. Ketika tidur kaki sulit dilonjorkan. Padat, sesak. Untuk masuk ke ruangan atau lantai tempat peristirahatan jamaah foregn, uh, begitu ketat.
"Iya, ada, nanti antum ngobrol aja dengan mereka. Ada salah satunya bisa." Timpal salah seorang tim tasykil, tim yang mengatur keberangkatan setiap jamaah yang akan disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Merekalah yang akan memutuskan apakah suatu rombongan itu layak atau tidak.
Besok pagi setelah sarapan, jamaah langsung diberangkatkan sesuai rute.
"Itu tiket Jamaah sudah dibooking semua, pake Bus yah". Haji Maimun mengarahkan. Ia sedikit memberikan arahan kepada saya selaku dalil, pengantar jamaah.
"Nanti, kalau diperjalanan begitu tiba waktu sholat, sampaikan kepada sopirnya tolong berhenti di masjid, walaupun jalan tol, itu ada masjid yang biasa disinggahi. Suruh sopir berhenti. Kalau sopir bus tidak mau, sampaikan ini jamaah nekat. Mereka bisa saja lompat kalau tidak berhenti. Ini jamaah siap mati yang penting bisa sholat. Mereka mazhab Hanafi. Jadi, tidak ada jamak shalat. Mereka cuma mengqashar sholat. Beda dengan kita mazhab Syafi'i yang boleh jamak dan qashar sholat. Paham...!" Beliau menegaskan.
"Insyaallah, paham...!" Jawab ku singkat.
Hemmmm, inilah Haji Maimun yang diceritakan itu. Sosok yang keras berubah menjadi da'i. Ia adalah mantan gengster terkenal, Yakuza di Jepang. Saya maklumi gaya bahasanya. Walaupun sudah da'i, karakter itu masih nampak. Alhamdulillah sekarang beliau telah mendapatkan hidayah dari Allah. Alhamdulillah.
Bus yang ditumpangipun melaju. Mulailah saya mencoba bercakap dengan salah-satu jamaah. "Do you speaking english?"
Saya sengaja tidak menggunakan kata "Can you speaking english?" Ini sebenarnya kalimat Indonesia yang diinggriskan. Orang Inggris jarang menggunakan gaya percakapan seperti itu. Tidak alami, terlalu kaku.
Mereka mulai menunjuk salah satu kawannya yang sebenarnya sudah hampir beruban semua rambutnya, janggut sedada dan rambut semua di beri warna merah rambut jagung. Di deretan kursi penumpang tepat dibelakang supir masih ada yang kosong. Saya mulai bergeser ke samping kanan kursi yang kosong itu, persis di belakang supir. Saya mulai bertanya beberapa hal tentang bagaimana keadaan dalam perjalanan. Ia hanya manggut-manggut tanpa memberikan jawaban yang sesuai. Saya mulai ragu. "Jangan-jangan hanya sepotong-sepotong juga bahasa Inggrisnya. Kalau begini mati aku." Gumam ku dalam hati.
Bus terus melaju membelah jalan tol Jagorawi. Bus melaju dengan kecepatan rata-rata. Waktu itu, suasana arus balik lebaran. Hemmmm, ternyata ada juga yang baru sempat mudik lebaran karena tidak sempat waktu menjelang lebaran kemarin juga untuk menghindari arus padat kendaraan menjelang lebaran. Mobil berlari tanpa hambatan yang berarti. Sesekali berjalan merayap padat.
Dengan izin Allah kami tiba lebih cepat dari dugaan. Biasanya menjelang subuh tiba di Terminal Tidar, Magelang. Kami tiba sekira jam 01.00 dini hari. Padahal, kami start dari terminal kampung rambutan sekitar 16.30 Wib. Menunggu jemputan kami i'tikaf di Masjid dekat terminal. Jalan masih terlihat lenggang. Sunyi, sesekali ada Bus dan motor yang berlalu. Pos Pengamanan mudik masih hidup. Pak Polisi dengan beberapa kawannya sedang menyaksikan acara televisi, sesekali menengok Bus yang baru tiba.
"Ustadz, disini siapa nanti yang akan temani jamaah untuk bantu tarjim. Karena saya lihat kalau kemampuan berbahasa Inggris jamaah masih dibilang standar seperti kita dari Indonesia. Itupun cuman satu orang. Ini kebanyakan jamaah orang tua. yang satu orang itupun lebih nyaman pake bahasa sendiri, Bahasa Urdu." Tanyaku ketika sudah berada di dalam mobil di samping penjemput.
Kebetulan, waktu itu Ustadz Muammar yang jemput ditemani beberapa karkun, sebutan untuk jamaah dakwah. Beliau sholat subuh berjamaah bersama kami. Dibenak saya, ingin cepat memastikan siapa yang akan menemani tarjim bersama jamaah. Beliau masih sesengukan bernafas. Capek, banyak barang yang diangkat. Jamaahnya cuma 7 orang. Barang bawaannya 3 mobil. Semua dibawa, bumbu masak dari India, tepung gandum 4 karung dan berbagai koper. Banyak sekali. Mesin mobil di nyalakan, lampu mobil tampak menyorot ke depan. Jalan sudah mulai nampak ramai, ada yang memungut sampah dengan seragam serba kuning. Mobil mulai berlalu-lalang. Terminal makin padat. Pengantar-penjemput sibuk dengan urusannya masing-masing.
Sang Ustadz belum langsung menjawab. Percakapan seputar perkenalan, dari mana, kapan, bagaimana bisa ketemu jamaah yang lebih banyak mengisi obrolan. Sampailah kepada persoalan tarjim, penerjemah bahasa untuk jamaah. Beliau mengabarkan bahwa semua ustadz yang biasa tarjim sedang mudik ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan ada pula yang sedang khuruj ke luar negeri.
"Teng... teng... teng...." Otak ku berfikir jika seperti ini maka mau tidak mau saya yang harus jadi penerjemah utama. Dengan bahasa Inggris seadanya.
"Eh, kebanyakan mereka nggak tau bahasa Inggris." Mati aku, yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Saya yang keseharian berbahasa Sulawesi dengan campuran dialek ambon, mau terjemahkan bahasa Urdu kepada masyarakat Magelang yang kesehariannya menggunakan bahasa jawa kromo. Mati aku." Otak ku berfikir keras.
"Tenang, kan ada Allah, nanti Allah yang tolong". Yah, doktrin itu telah masuk ke dalam sukma. Hanya dengan pertolongan Allah saya bisa. Hati ku meyakinkan. Mulut dan hati berzikir. Sedangkan otak berfikir kencang. Hemmmm, Allah...!
Bagaimana selanjutnya, perjalanan bisa menerjemah dan berkomunikasi dalam waktu singkat. Tipsnya akan dilanjutkan nanti Insya Allah... Hemmmm.
Bersambung....