Follower

Friday, March 20, 2020

ANTARA CORONA, JUM'ATAN DAN UMAR BIN KHATTAB


Oleh: Mujiburrhaman Al-Markazy

Setelah fatwa MUI dikeluarkan tanggal 16 Maret 2020 seperti dilansir liputan6.com 19/3, tentang permasalahan sholat berjamaah, Jum'atan dan perkumpulan agama mulai ramai diperbincangkan. Sebenarnya perbincangan tentang itu sudah berjalan, tapi semakin hangat setelah fatwa tersebut dikeluarkan.

Perlu dipahami bahwa, fatwa tersebut tentunya didasarkan pada kaidah maslahah dan mudharat. Sehingga, hukum fikih yang ditimbulkannya juga beragam. Dalam fatwa tersebut MUI membagi konsekuensi hukum berdasarkan konsekuensi mudharat. Tentu mudharat yang dimaksud adalah penularan virus covid-19.

Ada 3 level hukum yang digariskan oleh MUI yang terkait dengan sholat berjamaah, Jumat dan perkumpulan agama. *3 level arahan atau panduan.* Kalimat ini perlu dipahami, karena sampai sekarang belum ada fatwa MUI yang dikeluarkan untuk mengharamkan sholat berjamaah, sholat Jumat dan perkumpulan agama.

Fatwa yang disampaikan kepada masyarakat hanyalah berupa rekomendasi untuk masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi wabah dimaksud. 3 level arahan tersebut berdasarkan; *Potensi penularan rendah, tinggi dan tidak terkendali.* Tentunya yang bisa melaporkan bahwa suatu negeri atau daerah tertentu berdasarkan level dimaksud, haruslah dari perwakilan tenaga medis yang langsung menangani kasus masalah wabah covid-19 dimaksud.

Tidak semua dokter secara pribadi langsung mengumumkan tanpa ia terlibat dan tidak resmi dari perwakilan dokter yang menangani masalah covid-19 itu. Apalagi yang mengumumkan atau memperdebatkan hal itu adalah masyarakat awam. Maka jauh lebih tidak berdasar lagi.

Hal ini, sengaja Al-Faqir illallah angkat, karena sudah jadi endemik baru tentang kesehatan sosial masyarakat. Terlalu sibuk memperdebatkan hingga saling menjatuhkan. Padahal, sama dipahami bahwa, wabah ini hakikatnya datang dari Allah untuk menguji orang yang beriman dan sekaligus azab bagi para penentang agama Allah. Tidak perlu berbelit-belit, langsung saja pada topik diskusi.

1. Pada potensi penularan rendah covid-19. MUI menganjurkan bahwa ia tetap wajib melaksanakan seluruh kewajiban (termasuk sholat berjamaah, Jum'atan dan perkumpulan agama) sebagaimana biasanya. Hanya saja, dalam fatwa tersebut, penekanannya pada menghindari kontak fisik langsung, seperti berjabat tangan. Dan harus menjaga sajadah sendiri.

2. Potensi penularan tinggi atau sangat tinggi. Maka, MUI menganjurkan, ia boleh tidak melakukan sholat berjamaah dan Jumat.

Perlu dipahami, fatwanya adalah BOLEH, BUKAN HARAM untuk sholat berjamaah dan Jumat. Jadi, tidak usah sewot kalau ada yang tetap Jum'atan dan sholat berjamaah.

3. Pada daerah yang potensi penularannya tak terkendali dan mengancam jiwa. Maka, ummat Islam tidak boleh melakukan Sholat Jumat, tapi diganti dengan melakukan sholat Zuhur di tempat kediaman, dan  sholat berjamaah, tapi dilaksanakan sholat di tempat kediaman, sampai wabah reda seperti sedia kala.

3 Poin ini sebenarnya sudah mencukupi. Namun, penulis masih gusar dengan pencaplokan nama sang Amirul mukminin, Umar Ibnu Khattab ra. Pencaplokan yang dimaksud adalah, ketika terjadi wabah tho'un di suatu daerah yang akan dilalui oleh kaum muslimin. Maka, terjadilah dua ijtihad yang berbeda antara Sayyidina Abu Ubaidah ra, sebagai Gubernur  di wilayah Syam dengan sang Amirul Mukminin, kala itu.

Ijtihad Sayyidina Abu Ubaidah ra, dan beberapa sahabat senior lainnya seperti Sayyidina Muaz bin Jabal ra, memiliki cara pandang ijtihad yang berbeda dengan sang Amirul mukminin.

Eit, ada satu poin penting sebelum alfaqir melanjutkan. Disebabkan sudah maraknya statement dari Sayyidina Umar ra, tentang menghindari wabah dan takdir buruk. Maka, perlu ditegaskan bahwa Abu Ubaidah ra, adalah sahabat terkemuka, ia dijuluki sebagai aaminul Ummah, orang kepercayaan ummat. Sahabat Mu'adz bin Jabal ra. Juga seorang sahabat terkemuka. Ia termasuk seorang ulama di kalangan para Sahabat ra. Pun termasuk Mufti di kalangan sahabat r.hum.

Letak perbedaan ijtihad antara Sayyidina Umar bin Khattab ra  vs Abu Ubaidah bin Jarrah Dan Mu'adz bin Jabal r.huma adalah pada pemberangkatan pasukan yang akan melewati daerah wabah tho'un. Ini terjadi pada tahun 16 Hijriah atau 640 M. Pendapat Sang Amirul mukminin adalah jangan memasuki daerah wabah. Sedangkan Sayyidina Mu'adz dan Abu Ubaidah berpendapat masuk saja, toh wabah tho'un adalah makhluk tidak bisa memberikan kemanfaatan maupun mudharat. Jika ditakdirkan mati karena tho'un maka pasti mati juga. Jika, takdir kematian bukan pada tho'un maka tidak akan mati. Ini adalah pemahaman mendasar tentang makna kalimat tauhid (لا اله الا الله). Ini pun sesuai dengan nash ayat.

وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ

"Dan tidaklah mereka (manusia, virus, jin atau apapun) tidak dapat memberikan mudharat dengannya kecuali dengan izin Allah." (QS. Al-Baqarah: 102)

Seperti apapun  ijtihad tidak bisa disalahkan. Seperti ijtihad di kalangan ulama Ahlu Sunnah wal jamaah. Ijtihadnya ulama Mujtahidin.

Sayyidina Umar ra. Dengan kedalaman ilmu dan hikmah, punya pendapat yang Masya Allah, luar biasa. Pun dijadikan patokan oleh ulama dalam berijtihad. Ia berpendapat bahwa, jangan masuk ke daerah wabah tho'un, karena bisa membawa kemudharatan, yah minimalnya bisa terjangkit. Ketika ditanyakan, apakah Anda mau melawan takdir ya Umar?. Ia menjawab dengan jawaban yang begitu memukau. "Kalau kita masuk, berarti takdir kita masuk. Sebaliknya kalau kita tidak masuk maka takdir kita tidak masuk." Beliau melanjutkan, "tapi kita pergi meninggalkan takdir yang buruk untuk kita dan kita menuju takdir yang baik untuk kita."

Subhanallah. Ini dua ijtihad yang luar biasa. Satu melihat takdir dengan sudut pandang iman, dan kepasrahan total kepada Allah. Satu lagi melihat takdir sebagai upaya yang masih bisa dipilih. Apapun pilihannya, yah itulah takdir kita. Hasil dari pilihan dan konsekuensi dari sebuah pilihan, itulah takdir.

Ijtihad Sayyidina Mu'adz bin Jabal dan Sayyidina Abu Ubaidah r.hum tidak bisa dicela, karena memang Nabi Saw, sudah mengisyaratkan bahwa ia akan mati dengan penyakit tho'un. "Ya Mu'adz, tetaplah di tempat mu walaupun wabah menggerogoti raga manusia." (HR. Thabrani dan Ahmad, dengan sanad yang Sahih, sebagaimana termuat dalam kitab Alkabir).

Berbeda dengan penduduk Wuhan, China, tempat merebak awal dari si covid-19. Di sana kejadian malah sebaliknya, kaum muslimin dengan izin Allah, tidak seorangpun-Wallahu a'lam- yang tertular covid-19. Sehingga, mereka semakin naik gairah iman mereka. Bukan hanya itu, jumatan yang mereka lakukan menjadi viral karena meluber ke ruas jalan protokol. Allahu Akbar. Tidak cukup sampai di situ, orang China yang komunis, begitu takjub, sehingga meminta kepada kaum muslimin untuk diajarkan wudhu dan shalat. Allahu Akbar.

Walaupun penulis masih ingin melanjutkan beberapa hal, terkait ini. Dikhawatirkan menjadi terlalu panjang dan membuat bosan para netizen yang terhormat. Kami akhiri dengan, akhiru dakwanaa Alhamdulillah lillahi rabbil 'aalamiin washallahu 'alal habib ibni Abdillah.

No comments:

Post a Comment