Follower

Friday, March 20, 2020

UMAR BIN KHATTAB RA. MELARANG JUMATAN II


Oleh: Mujiburrhaman Al-Markazy

Tulisan ini adalah kelanjutan dari pembahasan kemarin tentang, "Antara Corona, Jumatan dan Umar bin Khattab".

Waktu itu, 16 tahun sesudah hijrah, sekira 640 Masehi. Di negeri Syam, Damaskus dan sekitarnya sekarang, telah mengalami krisis akibat wabah tho'un yang merebak. Ketika itu, Umar Ibnul Khattab ra. memimpin delegasi jihad dan beberapa tokoh utama untuk menengok kaum muslimin di perbatasan Syam. Kal itu Syam gubernur nya adalah seorang sahabat terkemuka, sang aaminul Ummah, sang kepercayaan umat. Dia pula termasuk orang yang dijanjikan akan masuk surga walaupun ia masih hidup di dunia. Namanya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah ra.

Ketika sayyidina Umar ra. dan rombongan tiba di ujung daerah Tabuk, hampir memasuki daerah Syam di Yordania saat ini. Ia dijumpai oleh para tokoh negeri Syam, sembari menceritakan kabar duka dari Negeri Syam.

Mendengar hal tersebut. Sayyidina Umar ra. pun melakukan musyawarah sebagai mana biasa kebiasaan kaum muslimin era itu. Berbagai pendapat muncul. Ada yang menghendaki agar tetap masuk. Makhluk wabah tho'un itu tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat tanpa izin Allah. Sementara yang lain berpendapat untuk tidak masuk, agar tidak semakin banyak korban.

Terjadilah silang pendapat yang tajam. Umar ra, sang pemberani itu, dan ditakuti oleh syaitan dan jin. Ia berpendapat untuk menghindari resiko penularan yang lebih luas lagi. Umar bin Khattab ra, dikritik oleh gubernurnya sendiri, "Apakah engkau akan lari dari takdir ya Umar?" Umar kaget dengan protesnya sahabat nabi yang mulia itu, tapi secara pangkat dan jabatan, ia hanyalah seorang Gubernur, yang notabene adalah bawahannya.

Ada satu  mutiara penting tentang potongan kisah ini, bahwasanya para sahabat ra. mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengingatkan apa yang mereka anggap salah walaupun itu jenderal atau presidennya sekalipun.

Ini dua ijtihad berbeda. Jadi bukanlah suatu kesalahan. Dasar ijtihadnya Sayyidina Abu Ubaidah ra, sudah kita bahas sebelumnya. Jadi, tidak perlu lagi diulangi di sini. Sedangkan Sayyidina Umar ra, melihat kacamata takdir dari dalil,

مَا قَطَعْتُم مِّن لِّينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَآئِمَةً عَلَىٰٓ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ ٱللَّهِ 
"Apa saja yang kamu tebang atau kamu biarkan tegak pada pokoknya, semua itu terjadi atas izin Allah." (QS. Al-Hasyr: 5).

Ayat tersebut mengisyaratkan hal itu. Bahwasanya, apapun pilihan dan tindakan kita, tidak akan bisa lari dari takdir Allah.

Dengan kagetnya sang al-Faruq ra, berujar,
لَوْ غَيْرُكَ -يَا أَبَا عُبْيَدَةَ- قَالَهَا! نَعَمْ، فِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ

“Seandainya bukan dirimu yang mengatakannya wahai Abu Ubaidah! Benar, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.” (HR. Muttafaqun ‘alaih atau Bukhari-Muslim).

Sayyidina Umar ra, kaget. Kok seakan ia dianggap tidak beriman. Namun, Masya Allah, dengan kedalaman ilmu dan hikmah Umar ra, telah menjadikan kisah ini sebagai mutiara sepanjang zaman.

Dalam perbincangan panjang itu, muncullah Sayyidina Abdurrahman bin Auf ra. Ia mengatakan, "Mengenai hal ini aku mengetahui satu ilmu dari Rasulullah Saw, bahwasanya;

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

“Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Mendengar hal itu, Sayyidina Umar ra, merasa mantap dan tenang dengan ijtihadnya. Ia sembari memuji Allah, "Segala puji bagi Allah yang tetap memelihara firsat ku sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw." Kemudian ia bersama rombongan kembali ke pusat pemerintahan, Madinatul Munawwarah. Sedangkan Sang gubernur Syam, pun kembali memasuki daerah kepemimpinannya. Selain tugas, ia memang berijtihad demikian. Alhasil, memang beliau ditakdirkan sebagai seorang syuhada disebabkan oleh virus tho'un tersebut.

Kayaknya masih belum sesuai judul yah? Sabar yah netizen yang terhormat. Ini poinnya yang kita akan kupas.

Bercermin dari kisah perjalanan Sayyidina Umar dan Sayyidina Abu Ubaidah r.hum tersebut. Kita memahami bahwa.

1. Seharusnya orang yang yang belum berada di daerah wabah virus, tidak masuk ke daerah tersebut.

2. Orang yang sudah berada di daerah wabah virus, jangan keluar.

Perlu digarisbawahi, bahwa, tidak ada satu kebijakan pun baik dari Sayyidina Abu Ubaidah dan Sayyidina Umar ra, untuk melarang orang melakukan sholat berjamaah dan Jumat di masjid. Terus? Yang ada hanyalah jangan masuk daerah wabah. Seumpama Indonesia itu daerah wabah atau China. Yah jangan masuk. Bagi orang yang diluar daerah itu, sebagai perumpamaan, yang tidak termasuk daerah wabah virus, maka jangan masuk di dua daerah itu. Yang jadi pertanyaan. Sekarang hampir seluruh dunia, mungkin Israel dan Amerika atau beberapa negara lain, belum termasuk daerah yang terjangkiti virus.

Seumpama Indonesia termasuk daerah virus. Maka apa kita harus keluar dari Indonesia? Ini bertentangan dengan kedua kaidah di atas. Sebagaimana Abu Ubaidah ra, yang tinggal dan bertugas di daerah virus tidak mengeluarkan statement untuk melarang Sholat berjamaah di masjid dan jumatan. Lalu, kita yang tinggal di daerah virus, -umpamanya,- harus tidak sholat berjamaah dan Jum'atan?

Seandainya kita tidak sholat berjamaah dan Jum'atan, tapi kita masih berbelanja di pasar dan menggunakan uang kertas yang bisa saja si covid-19 akan nongkrong di situ selama 4 jam. Kalau ada seorang ibu yang belanja di supermarket yang perputaran uang dan pembelinya begitu banyak, bukankah itu daerah penularan yang sangat banyak?

Begitupun, Al-Faqir mau sampaikan, bahwa, seperti Sayyidina Abu Ubaidah ra, sang gubernur Syam. Sayyidina Umar bin Khattab ra, pun tidak mengeluarkan kebijakan untuk melarang orang yang tinggal di daerah yang tidak kena wabah virus untuk tidak sholat berjamaah dan Jum'atan.

Ada lagi statement yang menggelikan. "Oh, di zaman itu, kalau orang kena virus tho'un, badannya kelihatan seperti baros, atau bernanah. Sedangkan covid-19 tidak kelihatan sedangkan masa inkubasi virus itu 14 hari baru nampak gejala."
Halo. Bosku, apakah ada orang yang mempelajari masa inkubasi virus pada zaman itu? Bisa jadi masa inkubasi virusnya sama. Jadi, kalau memang sejak awal malas sholat berjamaah, dan kadang suka absen jumatan. Yo, wes-lah. Monggo. Memang tanpa virus pun tidak dianggap sebagai suatu yang penting untuk sholat berjamaah. Jadi, dengan adanya virus ini, semakin memperkuat hobi kah? Hehe. Jangan dibawa serius. Mohon maaf yah, kalau al-faqir ada salah kata. Kita tutup diskusi dengan kalimat,
الحمد لله رب العالمين و صل الله على حبيبنا محمد و سلم تسليم اكثيرا


No comments:

Post a Comment